Tari Cokek adalah seni pertunjukan yang berkembang pada
abad ke 19 M di Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Tarian ini dimainkan oleh
sepuluh orang penari wanita, dan tujuh orang laki-laki pemegang gamang kromong,
alat musik yang mengiringinya. Alunan musik gamang kromong merupakan hasil
kombinasi suara yang ditimbulkan oleh rebab dua dawai, suling, kempul, gong,
kendang dan kecrek.
Sejarah munculnya
Tari Cokek berawal dari adanya pentas hiburan yang diadakan oleh para tuan
tanah Tionghoa yang tinggal di Tangerang. Dalam pentas seni itu, Tan Sio Kek,
yang merupakan salah satu tuan tanah di Tangerang, mempersembahkan tiga orang
penari sebagai wujud partisipasinya dalam pesta hiburan rakyat itu. Pada
awalnya, dia menyisipkan tarian para gadis cantik tersebut sebagai pertunjukan
tambahan. Namun, berawal dari pertunjukan tambahan itulah, kemudian para penari
ini menjadi terkenal dan berdiri sendiri sebagai kelompok penari yang kemudian
tariannya dinamakan Tari Cokek. Kata cokek diambil dari tuan tanah yang bernama Tan Sio Kek, orang
pertama yang mengilhami pertunjukan tarian ini.
TARI COKEK BETAWI (Dulu dibina oleh para cukong peranakan Cina)
Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu
hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari
masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu
hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan
perkawinan hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta
rakyat. Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil
menyanyi. Barangkali memang kurang afdol jika penari cokek sekadar menari.
Karenanya dalam perkembangannya selain menari juga harus pintar olah vokal
alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong. Jadi
temu antara lagu dan musik benar-benar tampil semarak alias ngejreng beeng.
Sayang sekali dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi
Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta,
yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H.
Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul
ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku
pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan
pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para
penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang
penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di
panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek.
Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari
Tayub dari Jawa Tengah.
Tamu
terhormat
Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari
wanita yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir
bergincu, ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan
para penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer
panggung kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu,
sambil melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang
Kromong. Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan
mengalungkan selendang. Penyerahan selendang biasanya diberikan kepada tamu
yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu bersedia menari maka mereka pun
mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak dekat tetapi
tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pasangan yang menari saling
membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada beberapa penari
berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing
memberikan imbalan berupa uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan,
dalam semalam tiap penari cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak
jumlahnya. Bisa dibelanjakan barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian,
sepatu, sandal atau apa saja menurut kesenangan mereka.
Fungsi
ekonomi
Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek
menyandang fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa
uang dari penanggap juga mendapat tip dari para lelaki yang berhasil digaet
ngibing bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan
ajeg karena seringnya ditanggap. Beda dengan masa kini dimana jenis kesenian
Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman teknologi modern, generasi baru Betawi
di kota mau pun pinggiran merasa lebih senang menanggap musik Orgen tunggal
yang menampilkan penyanyi dangdut berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran
zaman memang sulit dicegah. Sekarang orang lebih suka memilih hiburan yang
serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian Cokek
tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis kesenian
Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan terus
menerus.
Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala
atau mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang
menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana
panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung
selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari
juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana
itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng
banget, merah menyala, hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan
jika tertimpa cahaya lampu patromaks
Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek
(sebutan bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika
kepala digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke
belakang. Ada lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang
seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari benang wol dikepang atau
dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung hong.
Hidup
enggan-mati ogah
Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada
zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata.
Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong
dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang
iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong
peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan
Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal
khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang
secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya seperti
anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu belakangan ini
telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta,
namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang
sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah.
No comments:
Post a Comment