MENYAMBUT
Sepatutnyalah Umat Islam
menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan
itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka
berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan
hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena
Allah menciptakan langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar
manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari
tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata : Rasulullah صلی الله
عليه وسلم bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
"Puasalah kalian
karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian
terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari" [HR.
Bukhari 4/106 dan Muslim 1081]
Dari Abdullah bin Umar رضى الله عنهما, (bahwasanya) صلی الله
عليه وسلم bersabda:
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
"Janganlah kalian
puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya
(hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya'ban" [HR.
Bukhari 4/106 dan Muslim 1080]
Maka sabab itu...,
seorang muslim tidak sepatututnya mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa
satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan
dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata :
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda.
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ,
إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ
"Janganlah kalian
mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya
kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka berpuasalah" [HR. Muslim
(573 -Mukhtashar dengan Muallaqnya)]
Ru'yatul Hilal (melihat bulan) teranggap kalau ada dua
orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena
melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan,
maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya'ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada
dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah"
(HR. An-Nasa'i 4/133,
Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni 2/167 dari jalan Husain bin Al-Harist Al-jadal dari
Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab dari para sahabat Rasulullah صلی الله عليه وسلم, dan sanadnya hasan).
Tak-kan diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu
kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu
persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan
untuk memulai puasa), dalam suatu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar رضى الله عنهما, ia berkata : "Manusia mencari-cari hilal, maka aku khabarkan kepada
Nabi صلی الله عليه وسلم bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah-pun menyuruh manusia berpuasa. (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim
1/423, Al-Baihaqi 4/212 dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahya
bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar,
sanadnya Hasan )
NIAT
Setelah pasti dan jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau
persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh
hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam
harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
"Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka
tidak ada puasa baginya" HR. Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari
jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu
Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari
Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar
1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan
An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya
Shahih
Dan sabda beliau صلی الله عليه وسلم.
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامُ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
"Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka
tidak ada puasa baginya"
HR. An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan
Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada
'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya.
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang
sesat
walaupun manusia menganggapnya sebagai
satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus
untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم pernah datang ke Aisyah pada selain bulan
Ramadhan, kemudian beliau bertanya, “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka
jika tidak ada aku akan berpuasa" [HR. Muslim 1154]
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu Thalhah,
Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله عنهم dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam
[Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan
wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib.
Wallahu
Ta'ala a'lam
Se-siapapun yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia
tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus
menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya)
serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha'). Barangsiapa
yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka
tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu
dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan) dan termasuk dari
ushul syari'at yang telah ditetapkan: "Kemampuan adalah dasar pembebanan
Syari'at".
Dari Aisyah رضي الله عنها, dia berkata "Adalah Rasulullah صلی الله عليه وسلم pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan,
maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka
dipersilahkan" [HR. Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]
Dan dari Salamah bin Al-Akwa' رضي الله عنه, ia berkata. "Nabi صلی الله عليه وسلم menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia,
bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan
barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari
Asyura" [HR. Bukhari 4/216, Muslim 1135]
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian
dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak
makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa
wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah
(berbeda) sedikitpun.
Ketahuilah Akhy dan Ukhty (saudara seiman), bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa
Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut
sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena
diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk
menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa'
tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary: Rasulullah صلی الله عليه وسلم keluar menemui kami pada hari Asyura
kemudian beliau bersabda: "Apakah kalian puasa pada hari ini ?"
sebagian mereka menjawab: "Ya" dan sebagian yang lainnya
menjawab: "Tidak" (Kemudian) beliau bersabda:
"Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini". Dan beliau menyuruh
mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan
sisa hari mereka" ( HR. Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu
Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya.
Dengan sanad yang Shahih ).
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud: "Ketika
diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura". [HR. Muslim 1127]
Dan ucapan Aisyah: "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka
Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura” (berarti puasa Asyura tidak
wajib lagi hukumnya) [HR. Muslim 1125]
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana
yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka
jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya
kewajibannya.
Wallahu a'lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan: Jika puasa wajib telah
mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar
(bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
a. Wajibnya puasa Asyura
b. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa
wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak
puasanya, dan
c. Barangsiapa terlanjur makan dan minum kemudian dia
mengetahui datangnya bulan puasa, maka hendaklah ia menghentikan makan dan
minumnya dan tetap melanjutkan puasanya dari waktu yang tersisa dan tidak ada
kewajiban mengqadha' baginya.
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah
sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti
menghapus hukum-hukum lainnya. Wallahu a'lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan
Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata: "Bahwa
bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : "Kalian
puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak" Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha'lah
kalian"
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu:
a. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.
Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567: "(Dia) tidak
dikenal" Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239: "Keduanya
majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288,
tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil.
b. Adanya 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis
WAKTU
Dahulu pada awalnya, para sahabat Nabiyul Ummi Muhammad صلی الله عليه وسلم jika berpuasa dan hadir waktu berbuka
mereka makan serta menjima'i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang
dari mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), dia tidak boleh
melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas. Kemudian Allah dengan keluasan
rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur
disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan
rinci dalam hadits berikut.
"Dahulu sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم jika salah seorang diantara mereka puasa
dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan
makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah
Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi
isterinya kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ?"
Isterinya menjawab : "Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu"
Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika
isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata "
Khaibah"(Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba
yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya). untukmu" Ketika pertengahan
hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi صلی الله عليه وسل hingga turunlah ayat ini:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ
"Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima')
dengan isteri-isterimu" [Al-Baqarah : 187]
Dan turun pula firman Allah عزّوجلّ:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
"Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang
hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187]
Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata: "Kami mendengar dan
kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami
kembali" (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa: dimulainya puasa
dan waktu berakhirnya. (Puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya
siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di
ufuk.
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan
putih(Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta) kemudian mereka letakkan di bawah
bantal-bantal mereka, atau merka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan
dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat
membedakan antara yan putih dari yang hitam).
Dari Adi bin Hatim رضي الله عنه berkata: Ketika turun ayat.
"Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar", Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Baliaupun bersabda: "Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang"(HR. Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadir ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun: yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377: "Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengajari shalat dan puasa, beliau berkata: "Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih....hadits" Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan).
"Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar", Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Baliaupun bersabda: "Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang"(HR. Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadir ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun: yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377: "Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengajari shalat dan puasa, beliau berkata: "Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih....hadits" Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan).
Dari Sahl bin Sa'ad رضي الله عنه, ia berkata: Ketika turun ayat. "Makan dan minumlah hingga jelas
bagi kalian benang putih dari benang hitam", Ada seorang pria jika
ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan
dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah
menurunkan ayat : "(Karena) terbitnya fajar" , mereka akhirnya tahu
yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. [HR.
Bukhari 4/114 dan Muslim 1091]
Setelah penjelasan Qur'ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu,
hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
Seorang penyair mengungkapkan:
“Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau siang butuh bukti”
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya
fajar itu ada dua.
a. Fajar Kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat
shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
b. Fajar Shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang
puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.
Dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
"Fajar itu ada dua: Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang
puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah
dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut"(HR. Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165,
Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas,
Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191,
Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid
dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27).
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
a. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang
yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
b. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar
dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan
di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan
hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
لَا يَغُرَّنَّ أَحَدَكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ مِنْ السَّحُورِ وَلَا هَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَسْتَطِيرَ
"Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu
oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang" [HR. Muslim 1094]
Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَغُرَّنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصَعَّدُ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضُ لَكُمُ الْأَحْمَرُ
"Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke
atas. Makan dan minumlah sampai warna merah membentang"( HR. Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah
3/211 dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya,
sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu'man dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu
Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata
Maqbul!!)
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu-
bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang
mulia. "Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu
fajar" Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan
gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya
benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan
berjima'. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan
tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang
Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau
telah mendengar adzan.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
"Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di
tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya"(HR. Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi
2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari
Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510,
Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah,
sanadnya SHAHIH)
Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua
karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang
diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya
setelah hadits di atas. "dan muadzin melakukan adzan ketika sudah terbit
fajar" (Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman
Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata: "Ini
dimungkinkan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar!!" Walhamdulillahi wahdah).
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah رضي الله عنه. " Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar
masih ada gelas, dia berkata: 'Boleh aku meminumnya ya Rasulullah?' Rasulullah
bersabda: "Ya' minumlah" [HR. Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari
Abu Umamah]
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih
hati-hati adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar رحمه الله berkata dalam Al-Fath 4/199 : "Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar
adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua
sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu
yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau
puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam
ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja,
hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam
matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan
mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi
sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar
kejahatan pada mereka. Allahul musta'an".
Kami katakan: Bid'ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar
dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman
ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.
Menyempurnakan
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah
barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.
Dari Umar رضي الله عنه, ia berkata Rasullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
"Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam
matahari, telah berbukalah orang yang puasa" HR. Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya: "Telah berbuka orang
yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk
puasa
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada.
Termasuk petunjuk Nabi صلی الله عليه وسلم, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika
orang itu berkata : "Matahari telah terbenam", beliaupun berbuka HR. Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh
Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa: Yakni naik atau
melihat.
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah
terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur
dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah صلی الله عليه وسلم, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap
dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa رضي الله عنه : "Kami pernah bersama Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan
Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda kepada sebagian kaum: "Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud :
Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air". Orang itu berkata,
"Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore", dalam riwayat
lain: matahari). Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Turun, ambilkan
air". Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, "Kalau
kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni
matahari". Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain: berisyarat
dengan tanganya) (Dalam riwayat Bukhari-Muslim: berisyarat degan telunjuknya ke
arah kiblat) kemudian berkata: "Jika kalian melihat malam telah datang
dari sini maka telah berbuka orang yang puasa. HR. Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352.
Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur
Razaq 4/226. Perkataan beliau: "Ambilkan segelas air" yakni: siapkan untuk kami
minuman dan makanan. Ashal Jadh: (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan
air dengan menggunakan tongkat (kayu)
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan
Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Abu Said Al-Khudri رضي الله عنه berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu'allaq 4/196 dan
dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur
sebagaiman dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta'liq
3/195
Peringatan :
a. Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan
dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan
mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau
berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin
dari sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka (Barangsiapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik
akan dia temukan dalam kitab: Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
25/126-202. Al-Majmu' Syarhul Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi. Talkhisul Kabir
2/187-188 karya Ibnu Hajar)
. Wallahu a'alam.
b. Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan
jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga
mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka
menentang petunjuk Nabi صلی الله عليه وسلم
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar'i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul/ pokok yang diajarkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم adalah wajib.
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar'i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul/ pokok yang diajarkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم adalah wajib.
Camkanlah ini dan pahamilah.!
SAHUR
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada
orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa"
[Al-Baqarah : 183]
Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab,
yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima') setelah tidur. Yaitu jika
salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya,
demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya karena dihapus hukum tersebut.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya
Ahlul Kitab.
Dari Amr bin 'Ash رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
"Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan
sahur" [HR. Muslim 1096]
a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
اَلْبَرَ كَهُ فِي ثَلاَثَةِ: اَلْـجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْرِ وَالسَّحُورِ
"Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama'ah, Ats-Tsarid ( roti
yang diremukkkan dan dirindam dalam kuah) dan makan Sahur"HR. Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar
AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam
sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata: "Tidak dikenal, peawi
lainnya Tsiqat. Hadits ini mempunyai syahid dalam riwayat Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya
hasan.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ اللهَ جَعَلَ اَلْبَرَ كَهَ فِي السَّحُورِ وَالْكَيْلِ
"Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan
takaran" HR. As-Syirazy didalam kitab Al-Alqab sebagaimana dalam
Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah
dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh
riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223,
sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah صلی الله عليه وسلم : Aku masuk menemui Nabi صلی الله عليه وسلم ketika itu beliau sedang makan sahur,
beliau bersabda: “Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan
kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan'" [HR. Nasa'i 4/145
dan Ahmad 5/270 sanadnya SHAHIH]
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur
berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk
menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.
Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka
tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah صلی الله عليه وسلم menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits
Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda 'رضى الله عنهما.
هَلُمَّ إِلَي الغَدَاءِ الْـمُبَارَكِ يَعْنِي السَّحُورُ
"Marilah menuju al-ghadaa’ al-mubaarak (makanan penuh berkah),
yakni sahur"Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud
2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi
Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin
Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari
hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146
sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari
syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh
thabaqat hadits, beliau termasuk mudllis taswiyha?! Maka hadits ini
SHAHIH
b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang
yang Sahur
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah سبحانه و تعالى akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka
dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a
kepada Allah agar mema'afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang
dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
السَّحُورُ أَكْلَةُ بَرَكَةٍ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَي الْمُتَسَحِّرِيْنَ
"Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya
walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat
kepada orang-orang yang sahur"HR. Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan
dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaian menguatkan yang lain.
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang
besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling
afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
"Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma"HR. Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan
Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya
SHAHIH.
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk
bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang
disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ
"Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air" [Akan
datang Takhrijnya]
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi صلی الله عليه وسلم dan Zaid bin Tsabit رضي الله عنه melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi صلی الله عليه وسلم bangkit untuk shalat subuh, dan jarak
(selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang
membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas رضي الله عنه meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit رضي الله عنه. "Kami makan sahur bersama
Rasulullah صلی الله عليه وسلم kemudian beliau shalat" Aku tanyakan (kata Anas), "Berapa lama
jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "kira-kira 50 ayat
membaca Al-Qur'an"HR. Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam
Al-Fath 4/238: "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka,
(misal): kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua
perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca
mushaf sebagai isyarat dari beliau رضي الله عنه
bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka
membaca dan mentadhabur Al-Qur'an".
Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian
diperbolehkan makan, minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah
terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya
sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan,
kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan,
sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya
kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Karenanya
camkanlah!.
Oleh karena itu Rasulullah صلی الله عليه وسلم memerintahkannya - dengan perintah yang
sangat ditekankan-. Beliau bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومُ فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَيْءٍ
"Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu"
Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar
1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir
رضي الله عنه. Syuraik adalah seorang yang
dhaif. Hanya saja hadits ini memiliki satu penguat yang mursal dari
Sa’id bin Manshur, didalam
kitab sunannya dengan lafazh: “ Makan sahurlah meskipun dengan satu suap saja”.
Hal itu sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath 4/140.
Dan beliau bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
"Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah" [HR.
Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas]
Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau
bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
"Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur"
[Telah lewat Takhrijnya]
Nabi صلی الله عليه وسلم melarang meninggalkannya, beliau bersabda:
السَّحُورُ أَكْلَةُ بَرَكَةٍ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَي الْمُتَسَحِّرِيْنَ
"Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan
walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi
sahalawat kepada orang-orang yang sahur" [Telah berlalu Takhrijnya]
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ
"Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air"
HR. Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh
hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah.
Hadits Hasan.
Dapat kami katakan: Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan
anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
a. Hal ini memang diperintahkan
b. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan
pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab/ pemeluk agama lain
c. Larangan meninggalkan sahur.
Ketiga sisi ini merupakan qarinah/ keterikatan yang sangat kuat dan dalil
yang jelas.
Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul
Bari 4/139: Ijma atas sunnahnya.
Wallahu 'alam.
Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla
Sya'nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan seluruh
anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor
dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan
kemaluannya dari jima'. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak
merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih.
Inilah puasa yang disyari'atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum
semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari
dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum
merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah
puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.
Nabi صلی الله عليه وسلم telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak
yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara
yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap
hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa
yang wajib.
Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini,
hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
[Al-Baqarah : 183]
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari
banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم : " الصِّيَامُ جُنَّةٌ-Puasa adalah perisai-"1, telah kami jelaskan masalah ini dalam
bab keutamaan puasa.
Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar
engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian
syair:
Aku mengenal kejelakan bukan untuk berbuat jelek tapi untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan terjatuh padanya
Dari Abu Hurairah, صلی الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَعَمِلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ عزّوجلّ حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap)
mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya
meskipun) meninggalkan makan dan minumnya" [HR. Bukhari 4/99]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda.
لَيْسَ صِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ إِنَّـمَّا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
"Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan
diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu,
katakanlah: Aku sedang puasa, aku sedang puasa" [HR. Ibnu Khuzaimah 1996,
Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH]
Oleh karena itu Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengancam dengan ancaman yang keras
terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini. Bersabda As-Shadiqul
Masduq yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan Allah عزّوجلّ kepadanya.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
"Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya
hanyalah lapar dan haus (semata)" [HR. Ibnu Majah 1/539, Darimi
2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270 dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu
Hurairah. Sanadnya SHAHIH]
Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal
tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga
Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan
pahala kepadanya. [Lihat Al-Lu'lu wal Marjan fima Ittafaqa 'alaihi
Asy-Syaikhani 707 dan Riyadhis Shalihin 1215]
Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh
membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga
membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah
hingga tidak membatalkannya.
QADHA ( qodho puasa)
Wahai Akhy dan Ukhty (sauadaraku se-Islam) mudah-mudahan Allah memberikan
pemaha man agama kepada kita- bahwasanya mengqadha' puasa Ramadhan tidak wajib
dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan
satu riwayat dari Sayyidah Aisyah رضي الله عنها, dia berkata: "Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa
mengqadha'nya kecuali di bulan Sya'ban" [HR. Bukhari 4/166, Muslim 1146]
Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191: "Dalam hadits ini sebagai
dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena
udzur ataupun tidak".
Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik
daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan
untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan
ayat dalam Al-Qur'an.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ
"Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian"
[Ali Imran : 133]
أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah
orang-orang yang segera memperolehnya" [Al-Mu'minuun : 61]
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185:
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah: 185]
Dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata: "Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)" Bukhari 4/189 secara mu'allaq, dimaushulkan sandnya oleh
‘Abdurrazaq dan Daruquthni
dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih.
Abu Hurairah berkata: "Diselang-selingi kalau mau" [Lihat Irwaul
Ghalil 4/95]
Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan
Abdurrahman bin Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu
Hurairah secara marfu'. "Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan,
hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya", Ini
adalah riwayat yang Dhaif.
Daruquthni bekata: Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.
Al-Baihaqi berkata: Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma'in,
Nasa'i dan Daruquthni".
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa
beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al-Albany رحمه الله telah membuat penjelasan dhaifnya hadits
ini dalam Irwa'ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam Silsilah Hadits
Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju' dari
pendapatnya.
Peringatan:
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut
pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara
berturut-turut dalam mengqadha', namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah
(dan tidak memberatkan kaum muslimin,-ed) adalah dibolehkan kedua-duanya.
Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95 : "Aku mendengar Imam
Ahmad ditanya tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab: "Kalau mau
boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut". Wallahu 'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya
secara berturut-turut.
Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat,
Maka Walinya Apa Lagi Orang Lain Tidak Bisa Mengqadha'nya. Begitu pula orang
yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup,
tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin,
sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa,
harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya
diganti oleh walinya" [HR. Bukhari 4/168, Muslim 1147]
Dan dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما, ia berkata: "Datang seseorang kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم kemudian berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia
punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjawab: "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar"
[HR. Bukhari 4/168, Muslim 1148]
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa
(mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian
Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk
mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang
terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata: Aku
mendengar Ahmad bin Hambal berkata: "Tidak berpuasa atas mayit kecuali
puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan ?". Beliau
menjawab, "Memberi makan".
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan
pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak
satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama.
Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa
Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah)
sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi
hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan
punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah: "Apakah
aku harus mengqadha' puasanya ?" Aisyah menjawab: "Tidak, tetapi
bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap
muslim". Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam
Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia
riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas رضي الله عنه, beliau berkata : "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan
Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu
qadha', kalau punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya" Diriwayatkan Abu
Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau
menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas رضى الله عنهما adalah periwayatan hadits kedua, lebih
khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa
untuk mayit puasa nadzar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi صلی الله عليه وسلم " Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?" Beliau
bersabda : "Qadha'lah untuknya". Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi
penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud 3/279-282. (Wajib) atasmu untuk
membacanya karena sangat penting.
Al-Hasan berkata: "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang
seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan" Bukhari 4/112 secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalam
Kitabul Mudabbaj, dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar
Shahih Bukhari 1/58.
Diperbolehkan juga memberi makan kalau
walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian
mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik رضي الله عنه.
KAFFARAT(denda)
1. Kafarat Bagi Laki-Laki Yang Menjima'i Isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah رضي الله عنه, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan,
bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu: membebaskan
seorang budak, kalau tidak mampu makan puasa dua bulan berturut-turut, kalau
tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan : Kafarat jima' itu
boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan
dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai
urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena
perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka
sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena jima'. Tidak pernah terjadi
hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi
hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib
disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan
tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda
dengan sebaliknya.
2. Gugurnya Kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar
kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan
berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin),
maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at
kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا
"Allah tidak membebani jiwa
kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]
Dan dengan dalil Rasulullah صلی الله عليه وسلم menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya
dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.
3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban
membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya
mewajibkan satu kafarat saja.
Wallahu 'alam
No comments:
Post a Comment