“ Sesungguhnya
di antara nikmat yang Allah berikan kepada manusia adalah dengan di sem purnakannya
agama ini, agama yang dengannya Rasulullah shallallah aialihi wasallam di utus
membawa risalah dari Allah Ta’ala. Sehingga ketika manusia menghadapi problema
hidup, sepantasnya ia merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang shahih.
Sebagaimana yang di katakan
Ibnul Qayyim rahimahullah: “Kenikmatan yang mutlak adalah yang berkelanjutan,
berupa kebahagiaan yang abadi yaitu nikmat Islam dan As Sunnah.” (Ijtima’ul Juyusy…., Ibnul Qayyim)
Di sisi dimensi lain,
para setan di bawah kepemimpinan Iblis terlaknat juga tidak akan pernah
berhenti untuk melakukan tipu daya dengan berbagai rayuan manis sehingga menampakkan
kebatilan seperti sebuah kebenaran yang tak perlu di ragukan.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوْءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا
"Maka apakah orang
yang menganggap baik pekerjaannya yang buruk, lalu dia meyakini pekerjaan itu
baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)?" (Fathir: 8)
Dan firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدَُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ
صُنْعاً
"Katakanlah:
'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat yang sebaik-baiknya'."
(Al-Kahfi: 103-104)
Seiring dengan munculnya
kesesatan dan penyimpangan akhlakul karimah, yang pasti akan tetap muncul para
pembela sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan
kesesatan orang-orang yang mencampur adukkan antara yang haq dan yang batil.
Juga membendung orang ataupun kelompok yang senantiasa mengaburkan dakwah yang
benar yang di bawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para
shahabatnya.
Di antara golongan yang menyimpang dari petunjuk Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya adalah kaum Sufiyah. Aliran ini telah banyak
memberikan 'kontribusi' kepada Islam dengan beragam bid’ahnya, yakni berupa
model-model ibadah yang tidak ada asalnya dalam syariat. Parahnya lagi, setiap
tarekat sufi mempunyai cara dan model tersendiri yang berbeda dengan kelompok
sufi lainnya, ‘tergantung bagaimana
pemimpin mereka membuatnya’.
Contoh yang paling nyata dan 'terkini' banyak di tayangkan di layar kaca/di televisi. Dengan gaya bahasa dan tutur katanya yang 'lembut', ia mampu memikat sekian banyak orang untuk ikut serta dalam acaranya. Pria wanita, tua muda, politikus maupun orang kebanyakan tak ketinggalan untuk terlibat di dalam amalan yang disebutnya sebagai dzikir taubat dan semacamnya. Secara berjamaah, di bacalah apa yang di sebut dzikir itu dengan suara keras, di ikuti suara tangisan sambil menggerak-gerakkan anggota tubuh. Tak ketinggalan di baca asmaul husna, shalawat Nabi, dan beberapa ayat Al Qur’an dengan cara serupa, suatu model yang sama sekali tidak pernah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau sebut dengan BID’AH.
Contoh yang paling nyata dan 'terkini' banyak di tayangkan di layar kaca/di televisi. Dengan gaya bahasa dan tutur katanya yang 'lembut', ia mampu memikat sekian banyak orang untuk ikut serta dalam acaranya. Pria wanita, tua muda, politikus maupun orang kebanyakan tak ketinggalan untuk terlibat di dalam amalan yang disebutnya sebagai dzikir taubat dan semacamnya. Secara berjamaah, di bacalah apa yang di sebut dzikir itu dengan suara keras, di ikuti suara tangisan sambil menggerak-gerakkan anggota tubuh. Tak ketinggalan di baca asmaul husna, shalawat Nabi, dan beberapa ayat Al Qur’an dengan cara serupa, suatu model yang sama sekali tidak pernah di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau sebut dengan BID’AH.
Pengertian Bid'ah
Bid’ah telah di definisikan
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya Al-I’tisham: “Suatu jalan yang
di ada-adakan di dalam agama yang ingin menyamai syariat, yang di maksudkan
untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Azza Wajalla.” Dan beliau
membaginya menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah
haqiqiyyah, yaitu bid’ah yang sama sekali tidak di dasari dengan dalil yang
syar’i, tidak terdapat dalam Al Qur'an, tidak pula dalam As Sunnah. Dan tidak
pula dalam ijma’ maupun qiyas, serta tidak berdasarkan pendalilan yang benar
menurut ahli ilmu baik secara global maupun terperinci.
Kedua: Bid’ah
idhafiyyah, yaitu bid’ah yang memiliki dua unsur. Unsur pertama berhubungan
dengan dalil. Dari sisi ini, belum merupakan bid’ah. Namun dari unsur yang
lain, tidak ada hubungan dengan dalil dan persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Dan
hal ini terkadang disebabkan karena adanya tambahan dalam cara mengerjakannya,
waktu dan tempat yang tidak sesuai, dan sebagainya. (Al-I’tisham)
Dari pembagian tersebut,
jelaslah bahwa tidak semua amalan yang asalnya di bangun di atas dalil, menjadi
perkara yang di syariatkan secara utuh dari segala sisi. Namun harus di lihat
dari cara, tempat, waktu, dan jumlahnya.
“ Berkata As-Suyuthi
rahimahullah dalam kitabnya Al-Amru bil Ittiba’ ketika menyebutkan bahwa
sebagian bid’ah terkadang di sangka oleh mayoritas kaum muslimin sebagai
ibadah, keta’atan, dan cara mendekatkan diri kepada-Nya:
“Bagian yang kedua: Ada
yang di anggap oleh sebagian manusia sebagai amalan taat dan mendekatkan diri
(kepada Allah), padahal tidak demikian. Apakah meninggalkan amalan tersebut
lebih afdhal dari melakukannya, yaitu apa-apa yang telah di perintahkan oleh
syariat pada satu bentuk di antara sekian bentuk, pada waktu yang khusus atau
tempat tertentu, seperti puasa di siang hari ataukah thawaf di Ka'bah? Ataukah
(syariat) memerintahkan kepada seseorang tanpa yang lain, seperti yang Nabi
shallallahu alaihi wsalallam khususkan dalam beberapa perkara mubah atau
beberapa keringanan? Maka (datanglah) orang yang bodoh mengqiyaskannya. Kemudian
diapun melakukannya, padahal hal tersebut terlarang atau mengqiyaskan sebagian
bentuk (ibadah) dengan lainnya tanpa membedakan tempat dan waktu.” (Ilmu Ushul
Bida’, hal. 77, 'Ali Al-Halabi)
Beberapa contoh tentang hal tersebut:
1) Membaca Al Qur’an merupakan ibadah yang mulia
dan banyak keutamaannya sebagaimana di sebutkan dalam Al Quran dan Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Cukuplah kami sebutkan di antaranya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari
hadits Abu Umamah radhiallahu anhu. Ia berkata: Aku telah mendengar Rasululllah
shallalahu alaihi wasallam bersabda:
اقْرَؤُوا الْقْرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا
لأَصْحَابِهِ
“Bacalah kalian Al
Qur’an, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi
syafaat kepada para ahlinya.”
Meski keutamaannya
besar, membaca Al Qur'an ternyata di larang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam jika dilakukan di saat sujud maupun ruku’ dalam shalat. Sebagaimana di
riwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Ibnu 'Abbas
radhiallahu anhuma bahwa Rasululah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَلآ إِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِداً فَأَمَّا
الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهَ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي
الدُّعَاءِ فَقمن أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah bahwa aku
dilarang membaca Al Qur’an dalam keadaan ruku’ maupun sujud. Adapun ruku’, maka
agungkanlah Rabb kepadanya. Adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam
berdo’a, maka selayaknyalah dikabulkan bagi kalian.”
2) Demikian pula shalat yang merupakan
sebaik-baik perkara dan termasuk amalan yang paling afdhal, sebagaimana yang di
sabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
الصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ
“Shalat adalah
sebaik-baik perkara.” (HR. At-Thabrani dalam Mu’jam Ash-Shagir dari Abu
Hurairah radhiallahu anhu)
Namun ternyata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat pada waktu-waktu
tertentu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits
Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhuma. Ia berkata:
شَهِدَ عِنْدِيْ رِجَالٌ مَرْضِيُّوْنَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِيْ عُمَرُ، أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطَّلِعَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ
الشَّمْسُ
“Telah bersaksi di
sisiku beberapa orang yang diridhai dan yang paling aku ridha adalah 'Umar,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang shalat setelah fajar
hingga terbitnya matahari, dan setelah 'Ashar hingga terbenamnya matahari.”
Maka cukuplah dua contoh
ini mewakili yang lainnya dalam menjelaskan bahwa amalan ibadah merupakan
perkara tauqifiyyah
Penyimpangan dalam Dzikir Berjamaah
1- Membaca
dengan Suara Keras secara Berjamaah Hal ini telah di ingkari oleh para ulama
karena tidak ada dasarnya sama sekali dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam maupun kalangan shahabat, tabi’in dan yang mengikuti mereka dengan
baik. Sehingga ini merupakan perkara bid’ah yang harus di jauhi.
Berkata Asy-Syathibi rahimahullah:
“Apabila syariat menganjurkan dzikrullah
kemudian suatu kaum menerapkannya dengan cara berkumpul di atas lisan dan suara
yang satu. Atau pada waktu khusus yang telah diketahui di mana syariat tidak
menetapkan pengkhususan itu, bahkan sebaliknya. Sebab, mewajibkan hal-hal yang
tidak wajib secara syar’i berarti keadaannya adalah memaham kan syariat,
khususnya bila orang itu dijadikan contoh dalam perkumpulan manusia seperti
masjid-masjid. Maka apabila penampakannya seperti ini lalu diaplikasikan di
masjid-masjid seperti syi’ar-syi’ar Islam lainnya yang telah ditetapkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di masjid-masjid dan semisalnya –seperti
adzan, shalat ‘ied, istisqa, dan kusuf-, maka tidaklah diragukan bahwa (hal
tersebut) difahami sebagai perkara sunnah, dan tidak difahami sebagai wajib.
Lalu lebih pantas untuk tidak dikategorikan ke dalam dalil tersebut, maka dari
sisi inilah menjadi bid’ah.”
Lalu beliau berkata: "Seperti pula doa, karena itu termasuk dzikrullah. Namun mereka (as-salafush shalih, red) tidak menetapkan cara-cara tertentu dan tidak mengkhususkan waktunya, -di mana hal itu memberikan isyarat adanya pengkhususan ibadah pada waktu-waktu tersebut- kecuali yang telah ditentukan oleh dalil, seperti waktu pagi dan petang. Dan mereka tidak menampakkannya kecuali apa yang di nyatakan syariat unutuk di tampakkan (di-ajar-kan), seperti berdzikir pada dua hari raya (takbir) dan yang semisalnya. Adapun selain itu, maka mereka senantiasa menyembunyikannya dan men-sirr-kannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan kepada mereka ketika mereka mengangkat suaranya:
Lalu beliau berkata: "Seperti pula doa, karena itu termasuk dzikrullah. Namun mereka (as-salafush shalih, red) tidak menetapkan cara-cara tertentu dan tidak mengkhususkan waktunya, -di mana hal itu memberikan isyarat adanya pengkhususan ibadah pada waktu-waktu tersebut- kecuali yang telah ditentukan oleh dalil, seperti waktu pagi dan petang. Dan mereka tidak menampakkannya kecuali apa yang di nyatakan syariat unutuk di tampakkan (di-ajar-kan), seperti berdzikir pada dua hari raya (takbir) dan yang semisalnya. Adapun selain itu, maka mereka senantiasa menyembunyikannya dan men-sirr-kannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan kepada mereka ketika mereka mengangkat suaranya:
أَرْبِعُوْا عَلىَ أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا
“Kasihanilah diri-diri
kalian sesungguhnya kalian tidaklah meminta kepada yang tuli dan tidak hadir.”
(Muttafaqun 'alaih) dan yang semisalnya. Maka mereka tidak mengeraskannya pada
perkumpulan-perkumpulan.
Maka setiap yang menyelisihi prinsip ini, maka
sungguh dia telah menyelisihi dalil yang mutlak. Karena dia mengkhususkannya
dengan akal dan menyelisihi orang yang lebih menger ti tentang syariat –yaitu
mereka para ulama salafus shalih-. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam
meninggalkan suatu amalan yang beliau senang mengerjakannya, karena khawatir di
amalkan oleh manusia lalu di wajibkan atas mereka.” (Al-I’tisham, 1/318-319,
Asy-Syathibi)
2)- Bid’ahnya Shalawat
Inilah
model shalawat yang di ucapkan pada dzikir bid’ahnya:
يَا نَبِيُّ سَلاَمٌ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ
يَا حَبِيْبُ
سَلاَمٌ عَلَيْكَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ
Dan
dalam buku tulisan Ahmad Dimyathi Badruzzaman tentang dzikir berjamaah menyebut
kannya dengan lafadz:
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ
السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ
Lafadz
model ini termasuk shalawat yang menyimpang dari Sunnah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam karena tidaklah demikian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mengajarkan umatnya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan lafadz hadits
lebih afdhal dari setiap lafadz, dan tidaklah ditambah seperti pada (lafadz
adzan dan tasyahhud). Ini dikatakan oleh imam yang empat dan selainnya."
(Mukhtashar Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 92)
Demikian pula lafadz “habibullah” tidaklah shahih penisbahannya kepada Rasulullah shallallahu aalihi wasallam. Berkata Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah: “Telah tsabit bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapatkan derajat kecintaan tertinggi, yaitu khullah (khalilullah yang berarti kekasih dekat Allah, red). Sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:
Demikian pula lafadz “habibullah” tidaklah shahih penisbahannya kepada Rasulullah shallallahu aalihi wasallam. Berkata Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah: “Telah tsabit bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam mendapatkan derajat kecintaan tertinggi, yaitu khullah (khalilullah yang berarti kekasih dekat Allah, red). Sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ اتَّخَذَنِي خَلِيلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai
khalil sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.” (HR. Muslim)
dan sabdanya:
وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أَهْلِ اْلأَرْضِ خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا
بَكْرٍ خَلِيْلاً وَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ
“Kalau sekiranya aku mengambil dari penduduk
bumi sebagai khalil, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil.
Namun shahabat kalian ini (yaitu Nabi) adalah khalilnya Ar-Rahman.” (HR. Ibnu
Abi Syaibah dan juga semakna diriwayatkan Muslim)
Dan keduanya terdapat dalam kitab Shahih. Dengan kedua (hadits) ini membatalkan perkataan yang mengatakan: Al-Khullah (khalilullah) untuk Ibrahim sedangkan Al-Mahabbah (Habibullah) untuk Muhammad. Maka Ibrahim adalah Khalilullah sedangkan Muhammad adalah Habibullah.” Lalu beliau melanjutkan, "Adapun mahabbah maka itu di dapatkan oleh selain beliau shallallahu alaihi wasallam.
Dan keduanya terdapat dalam kitab Shahih. Dengan kedua (hadits) ini membatalkan perkataan yang mengatakan: Al-Khullah (khalilullah) untuk Ibrahim sedangkan Al-Mahabbah (Habibullah) untuk Muhammad. Maka Ibrahim adalah Khalilullah sedangkan Muhammad adalah Habibullah.” Lalu beliau melanjutkan, "Adapun mahabbah maka itu di dapatkan oleh selain beliau shallallahu alaihi wasallam.
Allah berfirman:
وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan Allah cinta kepada
setiap orang yang berbuat baik.” (Ali 'Imran: 134)
Dan firman-Nya:
فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Sesungguhnya Allah
cinta (mahabbah) kepada orang yang bertaqwa.” (Ali 'Imran: 76)
Dan firman-Nya:
فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya
Allah cinta kepada orang yang selalu bertaubat dan bersuci.” (Al-Baqarah 222)
Maka batallah pendapat yang mengatakan kekhususan khullah bagi Ibrahim dan mahabbah bagi Muhammad. Namun khullah adalah khusus bagi keduanya sedangkan mahabbah untuk umum. Adapun hadits Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan At-Tirmidzi yang padanya terdapat:
إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلُ اللهِ أَلآ وَأَنَا حَبِيْبُ اللهِ وَلاَ فَخْرَ
'Sesungguhnya Ibrahim
itu khalilullah. Ketahuilah, aku adalah habibullah dan tidak sombong.'
Ini tidak shahih” (Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/164-165, tahqiq Al-Arnauth).
Ini tidak shahih” (Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/164-165, tahqiq Al-Arnauth).
3)-Mengeraskan dan Mengangkat Suara ketika Berdo’a, Hal ini
bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan untuk merendahkan suara di
saat berdoa.
Firman-Nya:
وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيْلاً
"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya. Dan carilah jalan tengah antara
keduanya." (Al-Isra: 110)
Makna (بصلاتك) yaitu: doamu. Berkata 'Aisyah radhiallahu anha: "Ayat ini diturunkan tentang doa." (Muttafaqun alaihi)
Makna (بصلاتك) yaitu: doamu. Berkata 'Aisyah radhiallahu anha: "Ayat ini diturunkan tentang doa." (Muttafaqun alaihi)
Dan firman-Nya:
ادْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah
diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas." (Al-A’raf: 55)
Berkata sebagian ahli tafsir: "Makna 'orang-orang yang melampaui batas' dalam mengangkat suaranya dalam doa." Berkata Ibnu Juraij dalam menafsirkan ayat ini: ”Termasuk melampaui batas: mengangkat suara dalam memanggil dan doa seperti berteriak. Adalah mereka diperintahkan merendahkan dan tenang.” (Lihat Tash-hih Ad-Du’a, hal. 71, Bakr bin Abdillah Abu Zaid)
Berkata sebagian ahli tafsir: "Makna 'orang-orang yang melampaui batas' dalam mengangkat suaranya dalam doa." Berkata Ibnu Juraij dalam menafsirkan ayat ini: ”Termasuk melampaui batas: mengangkat suara dalam memanggil dan doa seperti berteriak. Adalah mereka diperintahkan merendahkan dan tenang.” (Lihat Tash-hih Ad-Du’a, hal. 71, Bakr bin Abdillah Abu Zaid)
4)- Menggerak-gerakkan Tubuh ketika Dzikir
Ini termasuk menyerupai
orang Yahudi ketika mereka membaca kitab mereka. Berkata Ar-Ra’i Al-Andalusi
rahimahullah: "Demikian pula penduduk Mesir telah menyerupai Yahudi dalam bergerak-gerak
di saat belajar dan sibuk. Dan ini termasuk perbuatan orang Yahudi.”
Berkata Bakr Abu Zaid: "Wajib atas orang-orang yang berdzikir kepada Allah, yang bertawajjuh dengan doa kepada Allah, para penghafal kitab Allah, yang membuat madrasah-madrasah dan halaqah tahfidz Al Qur’an agar meninggalkan bid’ah bergerak-gerak ketika membaca. Dan hendaklah mendidik anak-anak kaum muslimin di atas sunnah dan menjauhi bid’ah." (Tash-hih Ad-Du’a, hal. 80-81)
Berkata Bakr Abu Zaid: "Wajib atas orang-orang yang berdzikir kepada Allah, yang bertawajjuh dengan doa kepada Allah, para penghafal kitab Allah, yang membuat madrasah-madrasah dan halaqah tahfidz Al Qur’an agar meninggalkan bid’ah bergerak-gerak ketika membaca. Dan hendaklah mendidik anak-anak kaum muslimin di atas sunnah dan menjauhi bid’ah." (Tash-hih Ad-Du’a, hal. 80-81)
Wallahul Muwaffiq Ilaa Sabiil Ar-rasyaad
insya Alloh bermanfa'at
No comments:
Post a Comment