Alam
Ghaib ... Alam Ruh
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib,
akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.”
(Ali Imran: 179)
Daya pandang atau Kemampuan penglihatan manusia
tentu tidak bisa menjangkau benda yang berada di balik tembok atau terhalang sesuatu
yg tidak tembus pandang. Betapa indera manusia mempunyai keterbatasan. Oleh
karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan
mendewakan panca inderanya.
Menurut sejarah umumnya, secara psikologis, umat
manusia sejak dahulu kala mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala
sesuatu yang bersifat ghaib, apa lagi bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian
di masa depan. Begitu saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca:
mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan ahli
nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara mengait-ngaitkan
sesuatu yang di lihat ataupun di dengar, dengan kesialan atau keberhasilan
nasib yang akan di alaminya (tathayyur).
Ada kalanya sampai dengan meyakini ta’bir (takwil)
mimpi yang di ramal oleh tukang ramal atau orang pintar, menurut mereka...!
Tragisnya lagi, orang yang di anggap mengerti akan hal ini justru mendapatkan
posisi kunci di tengah masyarakat dan meraih gelar kehormatan semacam orang
pintar atau ahli supranatural. Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali di
sematkan untuk mereka. Wallahul musta’an.
Kondisi atau keada’an macam ini tidak hanya terjadi
pada masyarakat awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan
semata. Akan tetapi… kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut
terkontaminasi dengan hal itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian
berbagai macam ‘ilmu’ yang konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak
ke permukaan dan banyak di pelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam
prakteknya kerap kali harus bekerja sama dengan jin (setan).
“Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah
pemberitaan jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai
peristiwa ghaib di muka bumi ini. Orang yang tidak tahu (proses ini) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan
banyak orang yang tertipu dengan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll)
tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan, kata Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid, hal. 353)
Rahasia Alam
Ghaib
Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia
alam ghaib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak di beritakan
kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak
ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan
tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering, melainkan tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh 'alaihissalam berkata,
sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)
“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:
“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala khususkan untuk diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam
firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan
tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun
yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan
terjadinya hari kiamat:
“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang tidak diketahui
kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman
tersebut.).”
(HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu
'anhu)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini,
tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti)
salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan
firman Allah Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghaib (yang terdapat
dalam Luqman: 34,)
tersebut, sebagaimana yang terdapat
dalam Shahih (Al-Bukhari).” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)
Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:
“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)
“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta'ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian
perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang
dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Sabab itulah…, perkara ghaib tidak mungkin di ketahui
secara pasti dan benar, kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan
Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara
ghaib yang tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya
mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya
tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib?
Jawabannya: Tidak. Jin tidak
mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah nyatakan:
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak
ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang
memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa
kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan
berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya
dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara
ghaib, maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang
terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari
malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat
Manusia
“Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta'ala memutuskan dan menentukan
suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian pula
halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia. Di antara
hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka termasuk orang
yang beriman dengan perkara ghaib yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut,
ataukah justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 109)
Hikmah yang lainya adalah untuk keseimbangan hidup
umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi
kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimana jika seandainya setiap
orang mengetahui semua yang akan terjadi…? Tentu kehidupan akan sangat kacau
dan tidak mendapat ketentraman. Bagaimana tidak…?! Ketika seseorang mengetahui
dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita, baik karena di timpa
penyakit kronis, kecelakaan, di bunuh, dan lainnya. Tentu hidupnya akan di selimuti
dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti
bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala)
dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asa’anlah yang selalu
merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti, maka
harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya dan proses
pengobatan pun akan selalu di upayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi
di alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa
mengetahui orang-orang yang di adzab di kubur dan sejenisnya, niscaya
ketenangan hidup tidak akan di dapatkannya. Demikian pula ketika masing-masing
orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati selainnya, maka
kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang memberatkan. Karena berbagai
keburukan yang ada pada hati masing-masing orang dapat di rasakan. Di lain keada’an…,
ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia selalu beruntung, niscaya
hal itu bisa menjadikan dia sombong dan bersikap semena-mena terhadap sesama.
Tidaklah Allah menutup tabir rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena
kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang tiada tara.
Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk
mensyukuri apa yang di tentukan-Nya,
(Alhamdulillah, amin) .
Fenomena Umat tentang Alam
Ghaib
Akhy wa ukhty, tentunya sering mendengar info
seputar alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Lebih-lebih sekarang ini, ketika
‘misteri alam ghaib’ benar-benar di promosikan dan di jadikan ajang komoditi
bisnis yang cukup menjanjikan. Dengan bumbu klenik dan racikan mistiknya, maka
tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan khurafat.
Pada akhirnya televisi, surat kabar, dan media
cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara ada juga orang-orang yang mengingkari
perkara ghaib. Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (akal/logika)
semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan
akal dari pada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam menjadi simbol mereka.
Tak pelak,
akhirnya terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan di karenakan pengingkaran
mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya katakan tersebut.
Mereka terbagi menjadi tiga kelompok3:
1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara
ghaib, termasuk adanya Allah Subhanahu wa Ta'ala Pencipta alam semesta ini.
Mereka adalah kaum atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan
bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya). Demikian pula orang-orang
yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam Ibnu Arabi At-Tha`i
penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang mengklaim bahwa wujud ini hanya
satu, dan hakekat wujud Allah adalah semua yang ada di alam semesta ini (yakni
menyatu dengan makhluk), yang hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan
Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi
bahwa kewalian lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para
wali) lebih utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua
Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang
menyatakan bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa
Ta'ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran yang
tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut meng gambarkan kepada
manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala bertubuh besar, tubuh manusia akan di bangkitkan di hari kiamat, manusia
akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab, padahal kenyataannya tidak
demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi) lakukan demi kamashlahatan umat,
karena tidak ada cara yang lebih mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka
kecuali dengan cara tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan
dengannya.
3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang
menyatakan bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (memberitakan) kecuali
sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya dari
semua itu adalah apa yang bisa di jangkau oleh akal. Inilah pemikiran ahli
kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah, Kullabiyyah, Salimiyyah,
Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap
mengedepankan akal atas dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa di benarkan,
bahkan sangat berbahaya.
Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya
syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis -la’natullah-.
Pemicunya adalah mengedepankan akal dari pada nash, dan mengekor hawa nafsu untuk
menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala serta kesombongannya terhadap
bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni api) atas bahan yang Allah ciptakan
darinya Adam 'alaihissalam (tanah liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan perumpama’an akal yang ‘didewakan’ itu;
“Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang di sangka air oleh orang yang
dahaga, tetapi bila di datangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun.
”Dan di dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat
cepat perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang dalam,
yang di liputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan;
gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya,
tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi petunjuk
Allah Subhanahu wa Ta'ala tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi,
salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
“Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu. Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan, Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin) Tidaklah di dapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu), Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/160)
“Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu. Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan, Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin) Tidaklah di dapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu), Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati kebanyakan para
intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan tasawuf, yang tidak
mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai
orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang di katakan Asy Syahrastani: “Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had
(filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.” (Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.” (Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Sikap Ahlus
Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib
Islam adalah rahmat bagi semesta alam(Rahmatan lil
alamin). Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep
keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan
keimanan, dan keimanan yang di tunjang oleh keilmuan. Adapun keilmuan semata
tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan,
sebagaimana halnya orang-orang Yahudi(Izrael) dan yang sejenisnya. Demikian
pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan,
kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang
sejenisnya.
Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan
Islam sebagai agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk
sikap berlebihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang
menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada yang memulai
penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan
keimanan. Sebagaimana yang di lakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya,
yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula turunnya
wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman yang
merupakan asas keyakinan terhadap apa yang di bawa beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam, setelah itu di iringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat
untuk mengenal apa yang di bawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad
Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa 2/4).
Ukhty wa Akhy (Akhwat wa Ikwanul muslim), alam
ghaib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan Al-Qur`an dan hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan
dua cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut
menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk
mengembalikannya kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (Al-Hadits).
Dengan demikian, berarti semua perkara ghaib
haruslah di timbang dengan timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an dan Al-Hadits
dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika perkara
ghaib (yang dianggap ghaib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh di imani dan di yakini. Dan jika
perkara ghaib tersebut di terangkan di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, baik
berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang,
serta berbagai keadaan di akhirat dll, maka keberadaannya harus di imani dan di
yakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghaib ini mencakup
keimanan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib di masa lampau dan
di masa yang akan datang, berbagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 24)
Beriman dengan (adanya) perkara ghaib yang Allah
Subhanahu wa Ta'ala firmankan dan Rasul-Nya katakan merupakan salah satu ciri
orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkara ghaib tersebut
merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada
perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu
berkata: “Hakekat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang di beritakan
para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang di maksud
di sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa di jangkau panca
indra, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan
kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak
bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) firman
yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang dikatakan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim
dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua
yang di beritakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat di saksikan oleh panca
inderanya maupun yang tidak dapat di saksikannya. Baik yang dapat di jangkau
oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat di jangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang
menampakkan keislaman dan menyem bunyikan kekafiran) dan para pendusta perkara
ghaib (yang telah di beritakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam). Di karenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal
serta jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang
tidak di ketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan
bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan
petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 23)
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu
berkata: “(Setiap muslim) wajib beriman kepada semua yang di beritakan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa yang di nukil secara shahih dari beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat di lihat mata maupun
yang bersifat ghaib. Kita mengetahui (meyakini) bahwa semua itu benar, baik
yang dapat di jangkau akal maupun yang tidak bisa di jangkau dan tidak di mengerti
hakekat maknanya.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata:
“Berbagai macam berita yang di riwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam maka benar keberadaannya dan wajib di percayai, baik dapat di
rasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat di jangkau
oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus.
Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.”
(Al-A’raf: 157)
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an)
dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab
(Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami menjadikan Al
Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki
dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah-lah
kembali segala urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
Penutup
dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1.
Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua peristiwanya
yang di beritakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat
dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.
2.
Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.
3.
Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan pemahaman para
shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia merupakan jalan yang lurus.
Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis
dahriyyah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
No comments:
Post a Comment